PuKAT

Home » ACEH » RAHASIA BENDERA ACEH

RAHASIA BENDERA ACEH

DARI manakah bendera Aceh yang menggemparkan pemerintah Indonesia itu berasal dan apakah ianya penting untuk Aceh? Sebelum ini, tatkala isu bendera Aceh menguat dan Mendagri menolaknya, ada beberapa pihak mempermasalahkan secara serius. Sebelum penandatanganan MoU Helsinki antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005, bendera tersebut dikibarkan atas nama Negara Aceh Sumatra (NAS). Menurut Hasan di Tiro (HT), itulah bendera Aceh yang diistilahkannya dengan NAS.

Sebelum MoU Helsinki, pernah terdengar beberapa orang kawan mengatakan bahwa garis hitam dan putih di bendera Aceh sekarang itu ditambahkan oleh HT. Penambahan itu disebutkan sebagai kemampuan daya cipta atau hak kreativitas seorang “Wali Neugara”. Bendera tersebut, sebenarnya milik Negara Adikuasa Turki Usmani curak era terakhir (awal abad XX) yang kemudian dipakai juga oleh Republik Parlementer Turki.

Saat ingin mendeklarasikan NAS, HT mengambil berdera tersebut dan menambahkan garis hitam dan putih dengan beberapa alasan yang sebagian disebutkan dan sebagian lagi disembunyikan, misalnya karena Aceh di masa sebelum ini bersatu dengan Turki Usmani, maka HT mengambil bendera Turki untuk NAS karena bendera adalah salah satu syarat sebuah negara.

Menurut seorang intelektual Turki, pada era 1980-an, Hasan di Tiro pernah mengirim sepucuk surat kepada negara Turki tentang Aceh Darussalam memiliki hubungan dengan Turki Usmani dan dideklarasikannya NAS. Akan tetapi Turki tidak membalas surat tersebut dan menolak pertemuan dengan HT. Ini serupa dengan perlakuan sejarawan Aceh yang tinggal di Belanda, Dr Iskandar, tidak pernah membalas surat HT.

Namun, masalah dengan Turki luput dari pendangan HT. Ia mengandalkan sejarah Aceh Darussalam dengan Turki Usmani, sementara Republik Parlementer Turki berusaha melupakan apapun tentang Turki Usmani. Tatkala HT datang mengingatkan mereka tentang itu, kita boleh mengira-ngira apa yang terjadi. HT gagal melobi Negara Turki.

Bendera pemersatu
Bagaimana dengan bendera alam peudeueng? Ini adalah cerita yang lebih lucu. Tatkala sebagian orang menentang habis-habisan bendera Bintang Bulan disahkan untuk Aceh karena itu dekat dengan GAM, maka muncullah usulan lain, yakni mengajukan bendera alam peudeueng (Aceh: bendera pedang) sebagai gantinya dengan alasan bahwa alam peudeueng telah dipakai oleh Negara Kesultanan Aceh Darussalam yang diterima di seluruh wilayah di Aceh sebagai bendera pemersatu.

Alam peudeueng adalah sebuah bendera kain berwarna merah, bergambar bulan sabit tebal dan bintang bermata lima, gaya Turki Usmani sebelum abad XX, ditambah sebuah gambar pedang bernama Zulfikar (Aceh: Zulfaka), nama pedang Saidina Ali ra.

Sebagaimana diketahui, negara adidaya Turki Usmani, sejak abad XVI telah memakai bendera yang bernama bendera Zulfikar. Sebuah bendera berwarna merah dihiasi berbagai macam gaya Turki dengan gambar terbesarnya sebuah pedang bergagang lurus bermata kembar, persis jari telunjuk dan tengah yang dibuka dalam ukuran besar. Di dalam gambar pedang bermata kembar itu terdapat kaligrafi, gagang lurusnya memiliki pelindung tangan yang di sisi kiri dan kanannya berbentuk naga.

Kini mari kita perhatikan kabar bahwa Aceh telah mengibarkan alam peudeueng yang dibuat di masa Sultan Ali Mughayatsyah, seorang sultan Aceh Darussalam pertama pada awal abad XVI. Itu adalah satu waktu dengan dikibarkannya bendera bergambar pedang Zulfikar bermata kembar oleh angkatan perang Kesultanan Turki Usmani.

Lalu, setelah kafilah Lada Sicupak utusan Sultan Al-Kahar yang Agung kembali dari Istanbul pada pertengahan abad XVI, yakni pada 1560-an, bendera merah bergambar pedang Zulfikar ditambah bulan sabit dan bintang untuk dikibarkan di setiap kapal Aceh di perairan Selat Melaka, sebagai tanda bahwa Aceh masuk ke dalam koalisi dunia yang saat itu dipimpin umat Islam, dengan pusat pemerintahannya di Istanbul di bawah Khalifah Turki Usmani.

Kemudian, menjelang serangan Belanda, pada akhir abad XIX sultan Aceh Darussalam mengirimkan utusan lagi ke Istanbul untuk mempertegas kembali hubungan dengan Turki Usmani. Namun usaha itu gagal karena sabotase Belanda dan sekutunya melalui media di Kairo dan perutusan langsung ke Istanbul yang meminta supaya Turki Usmani tidak lagi membantu Aceh. Turki Usmani menghadapi dilema, mereka tidak bisa membantu Aceh di Timur Selatan yang pada saat itu mereka sendiri tengah didera perang besar menghadapi koalisi Kristen Barat.

Tatkala Aceh masih menjadi negara besar bernama Kesultanan Aceh Darussalam, bendera merupakan hal penting bagi Aceh. Bendera Turki yang dikibarkan di kapal-kapal perang Aceh yang berpatroli di perairan Selat Melaka menjadi salah satu kekuatan untuk membuat Portugis gentar disebabkan Turki Usmani adalah musuh terbesar mereka di Laut Tengah.

Alasan politis
Kini, walaupun secara resmi Belanda sebagai penyerang tidak mendapatkan surat penyerahan kedaulatan Kesultanan Aceh, namun Negara Aceh Darussalam telah menjadi sejarah. Dan, HT tidak memproklamirkan kembali Negara Kesultanan Aceh Darussalam tersebut, akan tetapi NAS yang disebutnya sebagai Negara sambungan dari Kesultanan Aceh Darussalam, karena beberapa alasan politis.

Penting-tidaknya bendera untuk Aceh yang merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan RI tergantung sudut pandang masing-masing orang. Sudah kita ketahui bahwa bendera yang DPRA bersikeras mengusulkannya untuk disetujui Mendagri sekarang adalah bendera NAS yang diciptakan oleh HT berdasarkan bendera Turki Usmani era akhir dan Republik Palementer Turki sekarang.

Dalam hal ini, tidak ada seorang pun dari Aceh yang menghargai sejarahnya dengan benar, atau tidak menghargai jasa orang lain. Tidak ada seorang pun dari Aceh, selain HT, yang menghubungi Turki untuk bendera mereka yang telah dipakai selama lebih dari 400 tahun.

Memang Republik Parlementer Turki yang sekular tidak tertarik untuk mengurusi dan lagi tidak memiliki hak atas bendera Turki Usmani yang dipakai di Aceh. Apalagi HT telah memodifikasikannya saat diambil untuk NAS. Akan tetapi Turki, secara berdaulat dan berkuasa memakai benderanya yang serupa dipakai Aceh tanpa harus memodifikasikannya. Sebaiknya, ada pelurusan tentang bendera ini oleh juru runding GAM yang kini semuanya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Pemerintah Indonesia, hendaknya mendukung apa saja bendera yang diinginkan oleh Aceh, sebab itu tidak akan mempengaruhi apa pun dalam politik karena MoU Helsinki telah membuat NAS secara resmi di dalam NKRI. Sementara negara adidaya di Asia Tenggara, Kesultanan Aceh Darussalam telah lenyap setelah diserang oleh Belanda laknatillah dan sekutunya.

Akankah Mendagri akan menyetujui bendera Aceh yang dulu dipakai NAS untuk propinsi Aceh ataukah tidak dan disarankan supaya bendera itu diganti dengan alam peudeueng? Apabila alam peudeung yang merupakan bendera Kesultanan Aceh Darussalam dikibarkan secara resmi lagi di Aceh, maka NKRI harus bersiap-siap untuk merelakan Aceh terhapus dari petanya.

Dari pandangan sejarah, NKRI akan tetap utuh apabila membiarkan bendera Aceh ciptaan HT berkibar. Itu karena bendera alam peudeueng-lah bendera yang diminta turunkan oleh Belanda dalam ultimatumnya kepada Sultan Aceh Darusslam pada 26 Maret 1873, bukan bendera Aceh untuk NAS yang dibuat oleh HT.

* Thayeb Loh Angen, Aktivis di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), Penulis novel Teuntra Atom dan novel Aceh 2025. Email: thayeb.zs@gmail.com


Leave a comment