PuKAT

Home » ACEH » Memimpin Ala Sultan al-Mukammil

Memimpin Ala Sultan al-Mukammil

30835

Foto dari baranom.wordpress.com

Nia Deliana

Aceh memiliki beberapa penguasa-penguasa kunci sepanjang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Selain Ali Mughayat Syah dan anaknya Sultan Alaiddin Riayat Shah al-Kahhar, terdapat juga Sultan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil (k.1589-1604), kakeknya Sultan Iskandar Muda (Untuk selanjutnya saya hanya menyebut gelarnya, al-Mukammil, untuk merujuk pada Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Mukammil).

Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang al-Mukammil. Narasi dari sumber yang ada masih dipenuhi praduga karena uraian yang berbeda antara satu sumber dengan sumber lainnya. John Davis yang merupakan salah satu anggota delegasi pertama dari Belanda yang berlabuh di Aceh pada tahun 1599 adalah yang paling awal mencatat tentang al-Mukammil. Dalam catatan perjalanannya, ia menyebutkan bahwa al-Mukammil dulunya adalah seorang nelayan. Info yang sama juga disebutkan oleh nelayan asing bernama Francois Martin yang datang ke Aceh pada tahun 1601. Dalam catatan Davis juga disebutkan al-Mukammil memiliki kelihaian perang yang membuatnya diangkat menjadi kepala militer kesultanan dimana ia menikahi gadis dari kalangan keluarga kerajaan. Setelah melalui waktu-waktu penuh goncangan, al-Mukammil yang bukan keturunan langsung kerajaan  menjadi penerus sultan sebelumnya.  Maka dengan begitu, ia menghancurkan sistem aristokrasi kesultanan Aceh Darussalam.  Menurut Pinto (2012), realita tersebut tidak disenangi baik oleh pihak internal kesultanan ataupun kalangan masyarakat oleh sebab itu tidak mengherankan jika Augustine de Beulieu yang menulis perjalanannya ke Aceh 20 tahun kemudian menguraikan cerita yang berbeda dari versi diatas.

Al-Mukammil merupakan satu satunya Sultan yang berkuasa ketika berusia lanjut. Oleh karena itu beberapa dokumen yang ada menjelaskan bahwa ia seorang penguasa yang bijak, berpikiran terbuka, politisi sekaligus pedagang handal, dan pecinta pendidikan.

Karaketristik-karakteristik tersebut dapat dijelaskan lebih rinci melalui korespondensinya dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Yang paling terkenal adalah barangkali kerjasama politik dan ekonomi dengan Inggris. Sebagaimana diketahui, Stempel Sultan Alaiddin Riayah Syah Al-Mukammil menancap dalam dua surat utusan Inggris yang hingga hari ini masih terawat dengan baik. Yang pertama adalah dalam surat berbahasa Spanyol yang dibawa oleh Pangeran Maurice dari Nassau pada tahun 1600. Melalui surat ini, Al-Mukammil mengetahui bahwa Inggris telah berhasil mengalahkan Iberia. Stampel lainnya ada pada surat bertahun 1601 yang dibawa oleh Sir James Lancaster dan Henry Middleton yang datang dengan penterjemah yahudi yang mampu berbahasa Arab. Surat ini secara umumnya meminta terjalinnya persahabatan dan trafik dagang yang damai. Sebuah permintaan yang berbeda jika dibandingkan dengan Spanyol atau Portugis yang bertikai dalam penentuan rute perdagangan. Perlu diketahui juga bahwa al-Mukammil pernah menolak surat dari Ratu Inggris Elizabeth karena ratu menyebutkan kegagalan Aceh dalam penyerangan Portugis dan penyerangan terhadap Kapten Ragamakota (Raja Mahuta), kandungan surat yang dianggap tidak nyaman untuk sebuah upaya lobi Inggris agar bisa berdagang di Aceh. Surat ini baru disambut dengan revisi yang kemudian berhasil menjamin Inggris untuk berniaga di Aceh.

Pengetahuan luas dan kepiawaiannya dalam berdagang dibuktikan dengan kandungan balasan surat- dari pihak Sultan kepada Elizabeth yang menggunakan bahasa Melayu Jawi dan bahasa Arab. Dalam surat bahasa Arabnya yang diterima Ratu Elizabeth pada tahun 1602, Sultan al Mukammil telah mengenal istilah, ‘perusahaan gabungan’, ‘kesamaan hak’, ‘satu perusahaan’, ‘masyarakat absolut’, ‘kebebasan’, dan ‘hak paten’.

Sultan al-Mukammil juga diketahui mencintai pendidikan. Ia memprioritaskan ulama-ulama dari Mekkah dan Madinah untuk mengajar di kesultanan. Pada masa pemerintahannya, pembahasan akan pendidikan-pendidikan agama di Aceh telah berada pada tahap yang tinggi menimbang Aceh diakui sebagai penyebar Islam utama di wilayah Asia tenggara. Keberadaan sosok Hamzah Fansuri pada masa pemerintahannya adalah salah satu contoh gambaran pergulatan agama yang kompleks dan saling menghargai. Lebih jauh lagi, tidak seperti yang kita saksikan saat ini, konteks pendidikan yang digandrungi oleh al-Mukammil tidak hanya melingkupi fiqih tapi juga pendidikan-pendidikan bersifat absolut seperti perobatan dan astronomi.

Selanjutnya kebijakan Sultan al-Mukammil dalam memimpin juga bisa disaksikan dalam narasi Hikayat Aceh. Saya pikIr akan lebih menarik jika narasi tersebut saya tuliskan sedikit rinci.

Dalam hikayat tersebut, berdasarkan ulasan almarhum Dr Teuku Iskandar dalam disertasinya de Hikayat Aceh, al-Mukammil menyambut dengan santun dua tamu Portugis bernama Dong Dawis dan Dong Tunis yang diutus untuk membuat kesepakatan dagang dengan Aceh. Salah satu kesepakatan yang diinginkan adalah Sultan Aceh mengizinkan Kota Biram menjadi pangkal perdagangan Portugis di Aceh. Sebuah permintaan yang sangat blak blakan mengingat hubungan Aceh dan Portugis hampir selalu dipenuhi dengan kontak militer yang menjatuhkan korban tidak sedikit antara kedua belah pihak. Lalu bagaimana tanggapan Sultan? Murka saja tidak apalagi merajuk seperti bayi atau lebih buruk lagi, memecat staffnya yang mengantarkan utusan ini. Sebaliknya Al-Mukammil tersenyum mendengar permintaan itu dan menyambutnya dengan penuh adab, tanpa kekurangan arak-arakan gajah. Sepertinya, Al-Mukammil megerti mengapa Pihak Portugis punya nyali untuk menghadapnya dan meminta Kota Biram, kota yang menjadi pelindung Kuala Aceh. Tentu karena Portugis dikenal punya ambisi monopoli perdagangan dan kristenisasi, ditambah lagi keberadaan Belanda diperairan ini menjadi rival signifikan bagi mereka.

Dalam hikayat Aceh juga diceritakan bahwa utusan ini selain membawa surat resmi dari pemerintah, mereka juga menghadiahkan Sultan dua kuda Portugis dan aneka perhiasan yang tak ternilai harganya. Hadiah kuda tersebut ternyata menjadi kunci apakah Kota Biram akan jatuh ke tangan Portugis atau sebaliknya. Portugis ingin membantu keputusan yang akan diambil dengan menawarkan pertandingan kuda. Sultan diketahui memiliki kuda-kuda handalan dari Istanbul dan Mekkah. Ketika pertandingan kecepatan kuda dibuat, kuda Sultan kalah dari kuda Portugis. Lantas, apa yang terjadi? Sultan tidak panik atau lantas memecat penunggang-pengunggangnya apalagi memecat kuda-kuda import tersebut!

Portugis tentu merasa telah menang. Dalam posisi nyaman salah satu utusan tersebut mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menunggang kuda portugis selain orang Portugis sendiri. Bagaikan mendapat lampu hijau, Sultan kemudian meminta untuk menjalankan tantangan tersebut. Sultan mendatangkan beberapa orang untuk menungganginya. Ternyata mereka benar. Kuda tersebut memekik, melawan ditunggangi oleh penunggang-penunggang dari Aceh. Seseorang menganjurkan Sultan untuk mengizinkan seorang pemuda handal, yaitu kemenakannya, mencoba untuk kesekian kalinya. Melihat pemuda tersebut masih begitu belia, utusan Portugis tersebut mengkhawatirkan takdirnya diatas kuda. Namun Sultan mendesak.

Utusan-utusan itu terhenyak. Terbukti kemudian sikecil mampu menungganginya bahkan dengan tidak menggunakan pelana. Utusan-utusan tersebut juga semakin tercengang ketika melihat si muda belia dapat menunggangi kuda-kuda itu sambil duduk berjongkok diatas punggungnya. Penunggang yang kemudian menjadi pemimpin Aceh paling mengesankan, ya.. itulah Sultan Iskandar Muda.

Tantangan terakhir ini menggagalkan Portugis untuk memonopoli Kota Biram. Sultan megatakan pada utusan-utusan itu, “bawakan pesanku pada rajamu. Katakan bahwa Kota Biram adalah kota pelindung muara Aceh. Jika ia meminta kota lainnya aku akan mengabulkannya.” Mereka kemudian dipulangkan ke negerinya tanpa kekurangan apapun.

Dalam catatan hikayat Aceh diatas, kita bisa melihat bahwa Sultan al-Mukammil adalah jelas salah satu Sultan terbaik yang pernah mengendarai Kesultanan Aceh Darussalam. Ia tidak hanya menghormati musuh-musuhnya yang sedang bertamu di wilayahnya-tamu yang jelas beragama Kristen dan berambisi penaklukkan lewat perang- tapi juga menghormati setiap hak azasi manusia di negerinya dan menyukai inovasi. Keumalahayati dan keberadaan pasukan perempuan resmi kesultanan adalah bukti yang tak terbantahkan.

Melihat fenomena kepemimpinan Aceh Saat ini, saya yakin bahwa Aceh sedang sekarat kepemimpinan. Goncangan kepemimpinan ini jelas tidak terlepas dari wafatnya sang maestro, Hasan Ditiro. Namun realitanya menjadi semakin menggelisahkan ketika pemerintahan yang dipimpin oleh pentolan pejuang-pejuang pada masa konflik sangat jauh dari harapan. Ditambah lagi, pasangan-pasangan yang mencalonkan dirinya untuk menguasai Aceh untuk periode setelah dua tahun mendatang adalah pasangan-pasangan yang sama yang sudah pernah menjadi penguasa atau semi penguasa. Ironisnya, tidak ada kesuksesan signifikan dari mereka yang layak diumbar.

Aceh memerlukan pemimpin ‘gebrakan’ yang berpengetahuan luas, bijak, berpikiran terbuka, dan benar benar peduli dengan pendidikan. Pemimpin yang mendengar tidak pada pembisik-pembisiknya tapi juga teriakan-teriakan yang datang dari koran, media sosial, surat-surat personal dari pelosok pelosok desa dan sebagainya. Jika memang Aceh bansa teuleubeih ateuh rung donya, maka jadikan itu tidak hanya sekedar dongeng belaka.

*Alumnus Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antarbangsa Malaysia.

Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di koran Pikiran Merdeka edisi bulan November 2015.

30835

Foto dari baranom.wordpress.com

 


Leave a comment